Mantan Lurah Kalampangan Diduga Kuasai Ratusan Hektare Tanah, Publik Desak Audit Menyeluruh
PALANGKA RAYA – Dugaan praktik penguasaan lahan secara tidak wajar oleh HS, mantan Lurah Kalampangan, menyeruak ke permukaan. Di tengah situasi sebagian masyarakat adat Dayak kesulitan memperoleh lahan produktif, H justru disebut-sebut menguasai hingga ratusan hektare tanah, yang kini menjadi sorotan publik.
Isu bermula dari keluhan warga Kalampangan yang mempertanyakan asal-usul kepemilikan lahan luas atas nama H dan keluarganya. Mereka mendesak agar Inspektorat Kota Palangka Raya serta Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) segera melakukan audit menyeluruh terhadap dugaan penyimpangan tersebut.
“Ini bukan sekadar penguasaan tanah, tapi sudah masuk pada indikasi mafia tanah. Ada konflik kepentingan yang harus diusut,” kata Man Gumpul, Ketua Kalteng Watch, kepada , Sabtu, 16 Agustus 2025.
Gumpul menilai, dugaan keterlibatan pejabat dalam monopoli lahan berpotensi menabrak prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan daerah.
Meski sudah tidak menjabat, H disebut masih mengendalikan pengelolaan tanah melalui istrinya. Sejumlah informasi menyebutkan, transaksi jual beli tanah masih berlangsung, bahkan disertai dengan dugaan pembagian hasil kepada oknum pejabat tertentu.
“Praktiknya sudah lama. Saat masih menjabat lurah, dia memanfaatkan kewenangannya dalam penerbitan surat pernyataan penguasaan fisik tanah (SPT). Ada imbalan di balik setiap penerbitan,” ujar seorang warga Kalampangan yang menolak disebut namanya.
Dulu pernah OTT reskrim Polresta, tahun 2016 tapi sampai sekarang belum ada tindakan tegas terhadap H.
Dan kemaren juga beberapa bulan yang lalu HS juga di panggil ke Polda Kalteng oleh penyidik informasi yang di dapatkan di laporkan tumpang tindih spt namun sampai saat ini belum ada tindakan lanjutan.
Tak hanya itu, H juga dituding menjalin kerja sama dengan oknum di Kantor Pertanahan Kota Palangka Raya. Sejumlah lahan yang semula berstatus pemekaran wilayah Kalampangan, kini diduga beralih kepemilikan kepada dirinya dan anggota keluarganya.
Salah satu kasus yang mencuat adalah klaim kepemilikan atas lahan seluas 850 hektare yang di klaim oleh kelompok tani Jadi Makmur itu di luar Transmigrasi Kalampangan yang di Ketua oleh Pak CIPTO atas Kendali HS ,berlokasi di Kelurahan Sabaru, Kecamatan Sabangau. Lahan tersebut sebelumnya dikuasai oleh sembilan kelompok masyarakat adat dan yang telah merawat dan mengelolanya selama puluhan tahun.
“Tanah itu bukan tanah kosong. Ada tanaman, kebun, bahkan rumah tinggal. Tapi tiba-tiba diklaim sepihak oleh Hadi melalui kelompok tani Jadi Makmur,” kata seorang tokoh masyarakat dari Lewu Taheta, Sabaru.
Menurut warga, praktik ini menimbulkan kecemburuan sosial, terutama di kalangan masyarakat asli Dayak. Warga dari kawasan bantaran Sungai Kahayan seperti Bereng Bengkel, Kameloh,hingga, Kelurahan Sabaru hingga kini banyak yang belum memiliki lahan di daratan secara legal.
“Organisasi masyarakat Dayak seolah lumpuh menghadapi manuver satu orang pejabat. Ini memalukan. Masyarakat Dayak asli justru kehilangan haknya,” kata seorang warga lainnya yang ikut dalam aksi penolakan klaim lahan di Sabaru.
Kalteng Watch menilai, kasus ini menjadi momentum bagi pemerintah kota dan aparat penegak hukum untuk menunjukkan keberpihakan pada hukum dan keadilan. Gumpul mendesak agar aparat tak ragu menindak jika terbukti ada pelanggaran.
“Jika aparat diam, akan muncul kesan hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Kita butuh ketegasan, bukan kompromi dengan pelaku penyalahgunaan wewenang,” ujarnya.
Inspektorat Kota Palangka Raya belum memberikan keterangan resmi terkait desakan audit terhadap kasus ini. Namun, Gumpul memastikan pihaknya akan mengawal kasus ini hingga tuntas, termasuk mengumpulkan bukti dan saksi untuk mendorong pembukaan penyelidikan oleh kejaksaan maupun kepolisian.
Kasus ini akan menjadi ujian serius bagi komitmen pemerintah daerah dalam membangun tata kelola agraria yang adil, khususnya bagi masyarakat adat dan lokal. Apakah pemerintah berani menindak, atau justru membiarkan praktik mafia tanah terus mengakar.
